SELAMAT DATANG DI BLOG KAMI,, MOHON SARAN DAN BANTUAN DEMI PENGEMBANGAN BLOG INI...( Created by Marthogi Lumbantoruan and Dedicated for Progress of Development all the Island of Samosir and the Peoples


Free chat rooms

Selasa, 27 September 2011

PENGEMBANGAN PARIWISATA INDONESIA

Written by: Marthogi Lumbantoruan

PENDAHULUAN

Berbagai organisasi internasional antara lain PBB, Bank Dunia dan World Tourism Organization (WTO), telah mengakui bahwa pariwisata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia terutama menyangkut kegiatan social dan ekonomi. Diawali dari kegiatan yang semula hanya dinikmati oleh segelintir orang-orang yang relatif kaya pada awal abad ke-20, kini telah menjadi bagian dari hak azazi manusia, sebagaimana dinyatakan oleh John Naisbitt dalam bukunya Global Paradox yakni bahwa “where once travel was considered a privilege of the moneyed elite, now it is considered a basic human right". Hal ini terjadi tidak hanya di negara maju tetapi mulai dirasakan pula di negara berkembang termasuk pula Indonesia. Dalam hubungan ini, berbagai negara termasuk Indonesia pun turut menikmati dampak dari peningkatan pariwisata dunia terutama pada periode 1990 – 1996. Badai krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak akhir tahun 1997, merupakan pengalaman yang sangat berharga bagi masyarakat pariwisata Indonesia untuk melakukan re-positioning sekaligus re-vitalization kegiatan pariwisata Indonesia. Disamping itu berdasarkan Undang-undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Perencanaan Nasional pariwisata mendapatkan penugasan baru untuk turut mempercepat pemulihan ekonomi nasional dan memulihkan citra Indonesia di dunia internasional. Penugasan ini makin rumit terutama setelah dihadapkan pada tantangan baru akibat terjadinya tragedi 11 September 2001 di Amerika Serikat.

Menghadapi tantangan dan peluang ini, telah dilakukan pula perubahan peran Pemerintah dibidang kebudayaan dan pariwisata yang pada masa lalu berperan sebagai pelaksana pembangunan, saat ini lebih difokuskan hanya kepada tugas-tugas pemerintahan terutama sebagai fasilitator agar kegiatan pariwisata yang dilakukan oleh swasta dapat berkembang lebih pesat. Peran fasilitator disini dapat diartikan sebagai menciptakan iklim yang nyaman agar para pelaku kegiatan kebudayaan dan pariwisata dapat berkembang secara efisien dan efektif. Selain itu sub sektor pariwisata pun diharapkan dapat menggerakan ekonomi rakyat, karena dianggap sektor yang paling siap dari segi fasilitas, sarana dan prasarana dibandingkan dengan sektor usaha lainnya. Harapan ini dikembangkan dalam suatu strategi pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan pariwisata yang berbasis kerakyatan atau community-based tourism development .

KONDISI PARIWISATA INTERNASIONAL

Berdasarkan data yang dikutip dari WTO , pada tahun 2000 wisatawan manca negara (wisman) Internasional mencapai jumlah 698 juta orang yang mampu menciptakan pendapatan sebesar USD 476 milyar. Pertumbuhan jumlah wisatawan pada dekade 90-an sebesar 4,2 % sedangkan pertumbuhan penerimaan dari wisman sebesar 7,3 persen, bahkan di 28 negara pendapatan tumbuh 15 pesen per tahun. Sedangkan jumlah wisatawan dalam negeri di masing-masing negara jumlahnya lebih besar lagi dan kelompok ini merupakan penggerak utama dari perekonomian nasional. sebagai gambaran di Indonesia jumlah wisatawan nusantara (wisnus) pada tahun 2000 adalah sebesar 134 juta dengan pengeluaran sebesar Rp. 7,7 triliun. Jumlah ini akan makin meningkat dengan adanya kemudahan untuk mengakses suatu daerah.

Atas dasar angka-angka tersebut maka patutlah apabila pariwisata dikategorikan kedalam kelompok industri terbesar dunia ( the world's largest industry ), sebagaimana dinyatakan pula oleh John Naisbitt dalam buku tersebut diatas . Sekitar 8 persen dari ekspor barang dan jasa, pada umumnya berasal dari sektor pariwisata. Dan pariwisata pun telah menjadi penyumbang terbesar dalam perdagangan internasional dari sektor jasa, kurang lebih 37 persen, termasuk 5-top exports categories di 83% negara WTO, sumber utama devisa di 38% negara dan di Asia Tenggara pariwisata dapat menyumbangkan 10 –12 persen dari GDP serta 7 – 8 persen dari total employement .

Dominasi tujuan wisata pun mulai berubah. Apabila di tahun 1950, 15 tujuan wisata utama di dunia terkonsentrasi di Eropa Barat dan Amerika Utara, yang mendatangkan 97% dari jumlah wisatawan dunia, maka pada tahun 1999 jumlah ini menurun menjadi 62%, sisanya menyebar di berbagai belahan dunia terutama Asia Timur , Eropa Timur, dan Amerika Latin. Diantaranya di kawasan Asia Timur dan Pasifik, kedatangan wisatawan tercatat 122 juta diantaranya yang tertinggi diraih oleh Cina sebesar 31,29 juta dengan perolehan devisa USD 16,231 miliar, sedangkan terendah dari sepuluh besar adalah Jepang dengan kedatangan wisatawan 4,757 juta dan memperoleh devisa USD. 3,374 miliar. Dan Indonesia merupakan negara dengan urutan kedelapan yang dikunjungi oleh 5,064 juta dengan peroleh devisa USD. 5,7 miliar (pada tahun 2000).

Prospek pariwisata ke depan pun sangat menjanjikan bahkan sangat memberikan peluang besar, terutama apabila menyimak angka-angka perkiraan jumlah wisatawan internasional ( inbound tourism ) berdasarkan perkiraan WTO yakni 1,046 milyar orang (tahun 2010) dan 1,602 milyar orang (tahun 2020), diantaranya masing-masing 231 juta dan 438 juta orang berada di kawasan Asia Timur dan Pasifik. Dan akan mampu menciptakan pendapatan dunia sebesar USD 2 triliun pada tahun 2020. Berdasarkan angka perkiraan tersebut maka, para pelaku pariwisata Indonesia seyogyanya melakukan perencanaan yang matang dan terarah untuk menjawab tantangan sekaligus menangkap peluang yang akan “berseliweran ” atau lalu lalang di kawasan kita. Pemanfaatan peluang harus dilakukan melalui pendekatan “ re-positioning ” keberadaan masing-masing kegiatan pariwisata dimulai dari sejak investasi, promosi, pembuatan produk pariwisata, penyiapan jaringan pemasaran internasional, dan penyiapan sumber daya manusia yang berkualitas. Kesemuanya ini harus disiapkan untuk memenuhi standar internasional sehingga dapat lebih kompetitif dan menarik, dibandingkan dengan kegiatan yang serupa dari negara-negara disekitar Indonesia.

Walaupun demikian, persaingan ini seharusnya disikapi pula bersama-sama dengan persandingan sehingga mampu menciptakan suasana co-opetition ( cooperation and competition ) terutama dengan negara tetangga yang lebih siap dan lebih sungguh-sungguh menangkap peluang datangnya wisatawan internasional di daerah mereka masing-masing. Paling tidak kita harus mampu menangkap dan memanfaatkan “ tetesan ” wisatawan yang berkunjung ke negara tetangga untuk singgah ke Indonesia dan membelanjakan Dolarnya di negar kita.

PERUBAHAN POLA KONSUMSI

Disamping jumlah wisman yang makin meningkat, saat ini pun telah terjadi perubahan consumers-behaviour pattern atau pola konsumsi dari para wisatawan . Mereka tidak lagi terfokus hanya ingin santai dan menikmati sun-sea and sand, saat ini pola konsumsi mulai berubah ke jenis wisata yang lebih tinggi, yang meskipun tetap santai tetapi dengan selera yang lebih meningkat yakni menikmati produk atau kreasi budaya ( culture ) dan peninggalan sejarah ( heritage ) serta nature atau eko-wisata dari suatu daerah atau negara.

Perubahan pola wisata ini perlu segera disikapi dengan berbagai strategi pengembangan produk pariwisata maupun promosi baik disisi pemerintah maupun swasta. Dari sisi pemerintahan perlu dilakukan perubahan skala prioritas kebijakan sehingga peran sebagai fasilitator dapat dioptimalkan untuk mengantisipasi hal ini. Disisi lain ada porsi kegiatan yang harus disiapkan dan dilaksanakan oleh swasta yang lebih mempunyai sense of business karena memang sifat kegiatannya berorientasi bisnis. Dan dengan diberlakukannya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah maka perlu pula porsi kegiatan untuk pemerintah daerah yang akibat adanya otonomi daerah lebih memiliki wewenang untuk mengembangkan pariwisata daerah. Secara sederhana pembagian upaya promosi misalnya akan dapat ditempuh langkah-langkah dimana untuk pemerintah pusat melakukan country-image promotion , daerah melakukan destination promotion sesuai dengan keunggulan daerah masing-masing, sedangkan industri atau swasta melakukan product promotion masing-masing pelaku industri.

Di bidang budaya harus dirintis kembali pengembangan dan peningkatan kehidupan kebudayaan dikalangan masyarakat secara rutin dan berkesinambungan diberbagai tingkatan daerah sejak desa sampai ke perkotaan, tidak lagi dipusatkan hanya di Pusat ataupun di ibu kota propinsi. Gerakan massal ini memerlukan waktu minimal 5 – 10 tahun. Adanya upaya penyeragaman budaya menjadi budaya nasional, seperti pada masa lalu, haruslah dicegah agar ke-bhineka-an budaya dan kesenian dapat tumbuh berkembang dengan sehat dan alamiah. Apresiasi budaya dan kesenian diberbagai tingkatan harus dilakukan oleh rakyat secara spontan bukan lagi didasarkan karena adanya arahan dari pusat ataupun diselenggarakan melalui panitia pusat. Yang pada akhirnya setelah surat keputusan berakhir maka berbagai event ataupun festival pun tidak muncul lagi dan menunggu SK berikutnya. Paragdima berpikir semacam ini haruslah dikikis habis oleh para pelaku pariwisata itu sendiri. Dan seandainya pun Pemerintah ada dananya dan akan membantu kegiatan-kegiatan budaya kesenian, hendaknya hanyalah bersifat “ start-up ”ataupun pendukung untuk menggulirkan kegiatan tersebut pada tahap-tahap awal sedangkan untuk selanjutnya harus dapat dikembangkan sendiri dari swadaya masyarakat.

Dibidang peninggalan benda-benda sejarah pun hendaknya dilakukan pendekatan yang serupa, dalam arti penemuan situs-situs baru ataupun pemeliharan berbagai peninggalan sejarah atau pun museum, dilakukan tidak semata-mata hanya untuk memenuhi kewajiban dinas semata atau “kenikmatan” disiplin ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kegiatan tersebut. Agar apresiasi terhadap peninggalan sejarah dapat lebih ditingkatkan maka pola berfikirpun hendaknya diadakan pula re-positioning yakni dengan menjadikannya sebagai salah satu daya tarik wisatawan dunia untuk berkunjung ke Indonesia. Perubahan ini tidak akan merusak keberadaan dari benda-benda bersejarah bahkan akan makin memberikan apresiasi yang lebih tinggi lagi baik terhadap upaya pemeliharaan benda bersejarah maupun terhadap budaya bangsa.

Menarik untuk disimak Deklarasi Bali tentang Conserving Cultural Heritage for Sustainable Social, Economic and Tourism Development pada tanggal 14 Juli 2000 antara lain : “ The growth of the tourist industry brings welcome economic development to many parts of the world. Cultural tourism is now a significant sector of this industry. Mass tourism and inappropriate behavior by tourists and those in the tourist industry can, and has, adversely affected the cultural identity of tourism centers. The tourism industry must recognize that it has a responsibility to contribute to the maintenance of the living culture on which it relies ”. Dan sesungguhnya culture dan heritage ini adalah nyawanya atau “roh” dari kegiatan pariwisata Indonesia. Tanpa adanya budaya maka pariwisata akan terasa hambar dan kering, dan tidak akan memiliki daya tarik untuk dikunjungi.

TEKNOLOGI DAN PARIWISATA

Data yang disajikan WTO terdapat pula hal yang menarik yakni bahwa ditemu kenali adanya 4 negara kelompok besar penyumbang wisatawan dunia yakni Amerika Serikat, Jerman, Jepang dan Inggeris yang menyumbangkan 41% dari pendapatan pariwisata dunia. Dari segi teknologi, keempat negara inipun merupakan negara-negara terbesar pengguna teknologi informasi- internet, yakni 79 persen dari populasi internet dunia (tahun 1997) k.l. 130 juta pengguna internet. Angka-angka ini bukanlah secara kebetulan atau di-hubung- hubungkan , tetapi memang ada korelasi yang erat antara pemakaian teknologi informasi dengan peningkatan jumlah wisatawan di suatu negara karena mereka lebih mudah mengakses informasi dari segala penjuru dibandingkan dengan negara yang tingkat penggunaan internetnya sangat rendah. Internet tidak semata-mata hanya merupakan temuan teknologi belaka, tetapi juga merupakan guru untuk mendidik manusia menemukan berbagai informasi (termasuk informasi pariwisata) yang diinginkannya, sehingga membuat hidup jauh lebih mudah ( to make life much easier) . Wisatawan kini tidak sabar menunggu informasi yang biasanya diberikan melalui biro jasa perjalanan ataupun organisasi lainnya. Mereka lebih senang mencari sendiri apa yang ada di benaknya sehingga mampu meyakinkan bahwa produk yang dipilihnya adalah yang terbaik.

Mengapa hal ini menjadi sangat penting di industri pariwisata ? Hal ini karena produk ataupun jasa yang diinginkan di sektor pariwisata tidak muncul ataupun “ exist ” pada saat transaksi berlangsung. Pada saat perjalanan wisata dibeli pada umumnya hanyalah membeli informasi yang berada di komputer melalui reservation system nya. Yang dibeli oleh wisatawan hanyalah “hak” untuk suatu produk, jasa penerbangan ataupun hotel. Berbeda dengan komoditas lainnya seperti TV ataupun kamera, wisata tidak dapat memberikan sample sebelum keputusan untuk membeli dilakukan, it cannot be sampled before the traveler arrives . Keputusan untuk membeli pun kebanyakan berasal dari rekomendasi dari relasi, brosur, atau iklan diberbagai media cetak. Jadi sesungguhnya bisnis pariwisata adalah bisnis kepercayaan atau "trusting business". Dengan adanya internet, informasi yang dibutuhkan untuk suatu perjalanan wisata tersedia terutama dalam bentuk World Wide Web atau Web. Konsumen sekarang dapat langsung berhubungan dengan sumber informasi tanpa melalui perantara. Dan saat ini dikenal new-truth para marketers pariwisata yakni: “ if you are not online, then you are not on-sale. If your destination is not on the Web then it may well be ignored by the millions of people who now have access to the internet and who expect that every destination will have a comprehensive presence on the Web. The Web is the new destination marketing battleground and if you are not in there fighting then you cannot expect to win the battle for tourist dollars” (yang artinya kira-kira seperti ini: "jika anda tidak ada di Web, maka anda berarti tidak berjualan. Jika paket "Destinasi" Anda tidak di Web maka mungkin akan diabaikan oleh jutaan orang yang sekarang memiliki akses ke internet yang mengharapkan bahwa setiap "paket Destinasi" akan memiliki tampilan yang komprehensif di Web. Web adalah medan pertempuran pemasaran "destinasi" baru dan jika Anda tidak di sana( di Web) maka Anda tidak bisa berharap untuk memenangkan pertempuran untuk meraih dolar daripada turis ")

Haruslah diyakini bahwa Web adalah saluran ideal dan alat yang ampuh untuk mempromosikan daerah tujuan wisata, dengan biaya yang sangat murah. Namun dalam berkompetisi ini yang harus diperhatikan, karena merupakan senjata utama kita, adalah kualitas dari informasi itu sendiri. Karena wisatawan akan mendasarkan keputusannya untuk mengunjungi suatu "Destinasi Wisata" atau obyek wisata hanya kepada informasi yang tersedia untuk mereka di Web. Sekali mereka mendapat informasi yang keliru maka keunggulan teknologi ini akan menjadi tidak ada gunanya

COMMUNITY-BASED TOURISM DEVELOPMENT

Pada bulan Juli 2000, Bank Dunia mulai memikirkan bagaimana caranya menanggulangi masalah kemiskinan melalui sektor pariwisata yang kemudian dikenal dengan “ community-based tourism ” (CBT). Selanjutnya diidentifikasi adanya tiga kegiatan pariwisata yang dapat mendukung konsep CBT yakni adventure travel , cultural travel dan ecotourism . Dibahas pula kaitannya dengan akomodasi yang dimiliki oleh masyarakat atau disebut small family-owned hotels yang biasanya berkaitan erat dengan tiga jenis kegiatan tersebut . Bank Dunia yakin bahwa peningkatan wisata adventure , ecology dan budaya akan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat setempat dan sekitarnya sekaligus memelihara budaya, kesenian dan cara hidup masyarakat disekitarnya. Selain itu CBT akan melibatkan pula masyarakat dalam proses pembuatan keputusan, dan dalam perolehan bagian pendapatan terbesar secara langsung dari kehadiran para wisatawan. Sehingga dengan demikian CBT akan dapat menciptakan kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan dan membawa dampak positif terhadap pelestarian lingkungan dan budaya asli setempat yang pada akhirnya diharapkan akan mampu menumbuhkan jati diri dan rasa bangga dari penduduk setempat yang tumbuh akibat peningkatan kegiatan pariwisata. Jadi sesungguhnya CBT adalah konsep ekonomi kerakyatan di sektor riil, yang langsung dilaksanakan oleh masyarakat dan hasilnyapun langsung dinikmati oleh mereka.

Yang perlu mendapatkan perhatian khusus dalam konsep CBT adalah wisatawan domestik (wisnus) yang perannya sangat besar dalam menumbuhkan dan mengembangkan obyek-obyek wisata yang nantinya diharapkan akan dikunjungi oleh wisman. Obyek-obyek wisata yang sering dan padat dikunjungi oleh wisnus akan memperoleh manfaat lebih besar dibandingkan dengan yang jarang dikunjungi wisnus. Makin banyak wisnus berkunjung , makin terkenal obyek tersebut dan pada akhirnya merupakan promosi untuk menarik datangnya wisman.

Dengan dilaksanakannya otonomi daerah, maka pengembangan dan pembangunan obyek wisata atas dasar CBT ini adalah merupakan salah satu tugas pemerintah daerah, meskipun tetap diupayakan agar hanya sampai sebatas sebagai fasilitator untuk menarik investor swasta melakukan kegiatan-kegiatan tersebut. Event-event pariwisata harus disusun secara konsisten sehingga dapat dijadikan acuan para pelaku pariwisata menjual ke berbagai pasar pariwisata dunia. Tanpa event yang tetap dan berkualitas maka akan sulit menarik pengunjung ke lokasi tersebut. Selain itu prasarana pariwisata pun harus ditingkatkan kualitasnya terutama yang terkait dengan kesehatan, kebersihan, keamanan dan kenyamanan.

NERACA SATELIT PARIWISATA (TOURISM SATELLITE ACCOUNT)

Sebagai bagian dari kegiatan ekonomi, maka mau tidak mau pariwisata pun harus mengikuti “ pakem” ilmu ekonomi yakni setiap kegiatan harus dapat di-kuantitatif-kan, yang pada umumnya melalui alat statistik sehingga dapat mencerminkan keadaan sesungguhnya dari pencapaian suatu kegiatan yang direncanakan. Sehingga masyarakat yang tidak langsung bergerak di kegiatan pariwisata dapat mengerti dalam bahasa yang lebih universal. Pada waktu ini penghitungan angka-angka statistik pariwisata didasarkan pada data sekunder yang berasal dari berbagai lembaga yang terlibat langsung dengan kedatangan wisman, antara lain Imigrasi, Biro Pusat Statistik, Bank Indonesia, Depbudpar, Disparda,PHRI. Kesulitan akan dihadapi apabila angka-angka statistik kita digabungkan ataupun dibandingkan dengan angka statistik negara lainnya seringkali tidak sepadan atau tidak "head to head"

Untuk itulah WTO pada tahun 1991 dalam International Conference on Travel and Tourism Statistics di Ottawa, merekomendasikan diterapkannya ukuran baru tentang sumbangan pariwisata terhadap perekonomian yang dikenal dengan Tourism Satellite Account (TSA) atau NESPARNAS (Neraca Satelit Pariwisata Nasional). Standar statistik ini sesungguhnya mengacu kepada UN System of National Accounts yang menampilkan definisi dan klasifikasi yang dipergunakan untuk survai sesuai standar internasional, sumbangan terhadap perekonomian dan keterkaitannya dengan berbagai sektor ekonomi lainnya, konsumsi yang dilakukan oleh wisatawan baik untuk sektor pariwisata maupun sektor lainnya. Konsep-konsep penerapan TSA di Indonesia saat ini sedang dikembangkan dan diharapkan dalam waktu dekat akan dapat mulai diterapkan secara bertahap.

PENUTUP

Demikianlah beberapa pemikiran untuk dijadikan bahan acuan Saudara-saudara dalam menimba ilmu pengetahuan dibidang pariwisata. Dengan meningkatkan kemampuan dibidang ini maka diharapkan upaya pemulihan perekonomian nasional. akan dapat segera diwujudkan. Semoga dapat bermanfaat.

Salam Dari Saya,

Marthogi Lumbantoruan/ marthogi@gmail.com
Batam, 28 September 2011
Link to:kolom.pacific.net.id

Rabu, 21 September 2011

GELIAT EKONOMI PARIWISATA DAERAH DANAU TOBA PASCA TERBENTUKNYA KABUPATEN SAMOSIR

Oleh: Marthogi Lumbantoruan (marthogi@gmail.com)

Pembentukan Samosir menjadi sebuah kabupaten yang telah lama ditunggu oleh seluruh masyarakat Samosir kini sudah menjadi kenyataan setelah melewati perjuangan yang begitu sangat melelahkan, dengan disahkannya melalui Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No.131.21.27 pada tanggal 6 Januari 2004 yang lalu maka, kini tanggungjawab pengelolaan pulau ini terletak di pundak seluruh masyarakatnya.

Berbagai terobosan sudah pun dilakukan oleh Pemda yang dalam konteks ini Pemerintah Daerah Kabupaten Samosir akan tetapi hingga saat ini perkembangan ekonomi di bidang pariwisata dan pengelolaan lingkungannya belumlah menunjukkan geliat yang signifikan, malah jika kita perhatikan daerah Danau yang dulunya sangat asri dengan hutan pinus di daerah Parmonangan hingga ke daerah Tele dan daerah-daerah lainnya di pulau Samosir sekarang malah sudah semakin tergerus dan menipis, juga air danau yang dulu sangat jernih kini berubah menjadi air keruh dan kotor yang disebabkan ole sisa pakan ikan dari tambak-tambak ikan penduduk yang tidak tertata dengan baik, serta kurang sadarnya masyarakat sekitar dalam membuang sampah yang kemudian menyebar ke sekitar dan mengotori air danau.

Disatu sisi tambak ikan ini sangat mendongkrak perekonomian penduduk sekitar,, akan tetapi disisi lain akan sangat merusak air danau dan habitat-habitat yang tinggal di dalamnya jika tidak dikelola dengan baik. Di sini peran Pemda Samosir dan juga individu-individu yang merasa memiliki Danau Toba dan Pulau Samosir sangat dituntut, bagaimana caranya agar danau kebanggaan kita bisa lestari dan juga perekonomian penduduk ikut terdongkrak tanpa harus mengorbankan salah satunya yaitu dengan cara me" manage" seluruh aspek dengan sebaik mugkin.

Contohnya;

1. Mengalokasikan suatu tempat yang khusus untuk tambak ikan yang agak jauh dari lokasi wisata dan fasilitasnya, sehingga tidak mengganggu pemandangan ataupun aktifitas orang yang datang sebagai wisatawan dan juga menjaga agar sisa-sisa pakan ikan tidak berserak kemana-mana.

2.Membuat Floating Paving Block di area tambak yang bertujuan mencegah sisa pakan ikan tidak menyebar kesegala arah.

3.Mengadakan "Program Satu Pohon Untuk Satu Orang" yang jika tidak salah sudah pernah dicanangkan oleh Pemda Samosir, kiranya bisa kembali digalakkan. Hal ini adalah salah satu contoh kecil yang bisa kita lakukan demi menjaga agar lingkungan danau kita bisa tetap steril dan bebas dari pencemaran air.

4. Menyadarkan masyarakatnya dalam mengelola sampah dengan membuat bak penampungan sampah yang dapat dengan mudah dijangkau oleh masyarakat sehingga dengan sendirinya masyarakat akan sadar dalam menempatkan sampah di tempat yang sudah disediakan, karena hanya dengan cara itulah kelestarian dan keasrian Danau Toba dan Samosir bisa kita pertahankan.

"MARI MEMULAI HARI TANPA ROKOK DEMI LESTARINYA ALAM DANAU TOBA KITA"

Harapan terbesar setelah terbentuknya Kabupaten ini tentunya adalah terdongkraknya kesejahteraan masyarakatnya baik secara ekonomi maupun secara moral melalui langkah-langkah pembangunan yang diadakan oleh Pemkab, akan tetapi sesuai dengan slogan Pemkab Samosir "MENUJU KABUPATEN PARIWISATA 2010" hingga kini belumlah terlihat hasilnya.

Yang menjadi pertanyaan disini adalah :"MENGAPA?" ,

Tentu jawabannya adalah kurangnya dukungan dari masyarakat terhadap program pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung, hal ini diketahui penulis berdasarkan masterplan yang sudah dicanangkan oleh Pemda baik melalui situs resmi yang dikelola oleh pemerintah Kabupaten Samosir (www.samosirkab.go.id) maupun melalui media lain yang mempunyai link dengan Keberadaan Danau Toba dan Pulau Samosir serta program pembangunannya,dan sejauh ini seluruh program yang sudah di agendakan sepertinya hanya jalan di tempat.Dengan asumsi tersebut maka penulis berkeyakinan bahwa apa yang sudah direncanakan oleh pemkab belumlah mendapat sambutan yang nyata dari masyarakat sekitar. Mari kita sadari sejenak bahwa tidak ada hal yang akan bisa kita capai jika kita hanya mengandalkan Pemerintah,maka jadikanlah program tersebut menjadi motivasi yang mendorong kita untuk bersama-sama, bahu membahu, bergandengan tangan demi menggapai kejayaan kita seperti dulu.

Penulis terkadang teringat akan jayanya Pulau kita, dimasa kecil penulis yang menghabiskan waktunya di seputar Danau Toba dan Pulau Samosir hampir setiap hari bahkan setiap menit selalu bertegur sapa dengan bule-bule dan wisatawan lokal lainnya di hampir setiap sudut Pulau samosir karena kebetulan penulis berprofesi sebagai Tour Guide pada masa itu.

Salam dari saya

Yogi Ringgo (Batam)

MEMBANGUN PARIWISATA SAMOSIR BERBASIS MASYARAKAT

Oleh : Marthogi Lumbantoruan / marthogi@gmail.com


Pariwisata pada saat ini merupakan suatu kebutuhan mutlak manusia, baik yang melakukan perjalanan wisata maupun masyarakat sekitar daerah tujuan wisata, seperti halnya dengan Pulau Samosir dan Danau Tobanya. Wisatawan butuh dipuaskan keinginannya, sementara masyarakat sekitar lokasi berharap akan mendapatkan implikasi positif berupa peningkatan pendapatan untuk menunjang perekonomian yang sekaligus meningkatkan kesejahteraaan hidup mereka.

Fenomena ini harus menjadi perhatian para penentu kebijakan di Kabupaten Samosir, sebagaimana diamanatkan bahwa pembangunan kepariwisataan nasional diarahkan untuk menjadi sektor andalan dan unggulan yang secara luas, sebagai penghasil devisa terbesar yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pendapatan daerah, memberdayakan perekonomian masyarakat,sekaligus sumber daya manusianya, memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha.

Sektor pariwisata merupakan industri yang prospektif dan kompetitif dan tidak akan ada matinya seperti industri lain yang terbatas dan bisa mencapai titik jenuhnya. Keadaan ini ditandai oleh perkembangannya yang cukup pesat pada beberapa tahun terakhir. Menurut catatan World Tourism Organization (WTO), pada tahun 2002 tercatat 700 juta orang melakukan perjalanan wisata Internasional, dan pada tahun 2005 tercatat lebih dari 850 juta.

Dari angka tersebut lebih dari 25 persen tersebar di kawasan Asia Timur dan Pasifik yang termasuk di dalamnya Indonesia. Secara umum, dalam hal jumlah kunjungan di Asia Tenggara, Indonesia masih jauh tertinggal dari Thailand, Singapura, dan Malaysia dalam merebut kunjungan wisata internasional.

Hal ini disebabkan beberapa faktor diantaranya : kurangnya partisipasi aktif dari individu-individu yang berkepentingan terhadap sektor Pariwisata, juga kurang gencarnya pemerintah dalam hal promosi Kepariwisataan Indonesia ke luar negeri, juga faktor –faktor lainnya.

Jika tidak segera berbenah, bukan tidak mungkin kita akan hanya menjadi penonton dalam persaingan global yang semakin ketat, yang dalam hal ini adalah bidang Pariwisata.

Sejalan dengan Visi Kabupaten Samosir adalah” menuju Kabupaten Pariwisata 2010 untuk mewujudkan masyarakat yang lebih sejahtera melalui sektor pariwisata”. Oleh karena itu pembangunan pariwisata di Kabupaten Samosir haruslah mampu memberi manfaat secara adil bagi semua lapisan masyarakat. Seluruh masyarakat Samosir berhak memperoleh kesempatan berperan dan menikmati hasil pembangunan pariwisata sesuai dengan peran yang dilakukannya, tentunya tanpa mengorbankan keseimbangan alam.

Pada prinsipnya pembangunan pariwisata dituntut mengaplikasikan tiga paradigma utama, diantaranya:

  • (1) Economically valueable , harus mampu meningkatkan pendapatan perkapita penduduk, memperluas kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa mengorbankan kelestarian alam.
  • (2) Socially acceptable, harus mampu mewujudkan keadilan sosial, melestarikan serta memperkokoh jatidiri, kemandirian bangsa, memperkaya kepribadian, mempertahankan nilai-nilai agama dan budaya, serta berfungsi sebagai media menciptakan ketertiban dunia.
  • (3) Environmentally sustainable, harus memperhatikan kelestarian lingkungan dan berkesinambungan.

    Oleh karena itu pembangunan pariwisata berbasis masyarakat (community based tourism) menjadi ’’azimat” yang harus dipegang oleh para penentu dan pelaksana kebijakan pembangunan pariwisata di Kabupaten Samosir. Sebagai komponen utama dalam pariwisata berbasis masyarakat, maka masyarakat lah yang dituntut mempunyai peran yang sangat penting dalam menunjang pembangunan pariwisata. Peran serta mereka dalam memelihara sumber daya alam dan budaya yang dimiliki merupakan andil yang besar dan berpotensi menjadi daya tarik wisata. Intinya, pembangunan pariwisata akan sulit terwujud ketika masyarakat setempat merasa diabaikan, hanya sebagai objek, serta merasa terancam oleh kegiatan pariwisata di daerah mereka.

    Dengan memperhatikan prinsip-prinsip dan unsur-unsur diatas, maka kata kunci dari pembangunan pariwisata, khususnya di Kabupaten Samosir adalah bagaimana membangun partisipasi masyarakat sehingga peduli dengan dunia pariwisata. Salah satu cara yang dapat digunakan dalam membangun partisipasi masyarakat adalah dengan metode pengkajian keadaan masyarakat desa secara partisipatif. Metode ini digunakan sebagai alat untuk pemahaman terhadap lokasi dengan cara belajar dari, untuk dan bersama dengan masyarakat untuk mengetahui, menganalisa, dan mengevaluasi hambatan dan kesempatan melalui multidisiplin dan keahlian untuk menyusun informasi dan pengambilan keputusan sesuai dengan kebutuhan.

    Salam dari saya,

    Marthogi Lumbantoruan /marthogi@gmail.com